BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam
pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni : (1) sarana gedung, (2) buku
yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional.
Demikian yang diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman
Djoyonegoro dalam wawancaranya dengan Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI) tanggal 16 Agustus 2004. Dalam pada itu, dikemukakan bahwa "hanya
43% guru yang memenuhi syarat"; artinya sebagian besar guru (57%) tidak
atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.
Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan.
Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran
dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan
perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.
Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam
perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan
kehidupan setiap individu. Jika bidang-bidang lain seperti ekonomi,
pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi
kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan
pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan
dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam
menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun
watak bangsa (Nation Character Building). Mastarakat yang cerdas akan
memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan
membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka
juga tidak terlepas dari peran pendidikan. Para pahlawan Pendidikan,
seperti Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes
Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pembangunan bangsa
Indonesia. Mereka merintis pendidikan Nasional dengan mendirikan Taman
Siswa pada tahun 1922, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman,
kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi
bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini.
Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan,
dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui
pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat
membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan.
Melalui pendidikan, bangsa ini membebaskan masyarakat dari kemiskinan,
dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan
sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan
bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia, bahkan dalam era
kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa
Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan
yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan,
keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa
Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera.
Persoalannya, pendidikan yang harus dikembangkan untuk membebaskan
masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat
bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap dari
negara lain, adalah pendidikan yang dapat mengembangkan potensi
masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu
generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya
secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan
menyeluruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya
manusia (SDM) berkualitas serta memiliki visi, transparansi, dan
pandangan jauh kedepan; yang tidak hanya mementingkan diri dan
kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan
Negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak
diabaikan, bahkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia rendah
jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga
Negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan Indonesia berada urutan
sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human
Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174
negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga
menurun dari urutan ke 41 diantara 46 negara pada tahun 1996 menjadi
urutan ke 46 diantara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil
survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat
The Jakarta Post (3 september 2001) menunjukkan betapa rendahnya
kualitas Pendidikan Indonesia disbanding Negara lain di Asia, bahkan
berada dibawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI
(Human Development Index) dan tingkat persaingan, perlu strategi
perencanaan pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengembangkan
SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing
dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.
Tilaar (1994) mengemukakan tujuh masalah pokok sistem pendidikan Nasional yaitu :
- Menurunnya akhlak dan moral peserta didik
- Pemerataan kesempatan belajar
- Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan
- Status kelembagaan
- Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan
- Sumber daya yang belum profesional
Menghadapi hal tersebut diatas, perlu dilakukan penataan sistem
pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan
kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan
dunia kerja. Pendidikan juga harus lebih mengedepankan kreativitas
(creativity quotient) untuk menumbuhkan kemandirian dan aspek
kewirausahaan dalam pribadi peserta didik.
Dalam kaitannya kondisi masyarakat, dapat disaksikan bahwa percepatan
arus informasi, dan globalisasi telah mempengaruhi berbagai sendi
kehidupan, bahkan telah mengikis nilai-nilai spritual, sehingga membuat
masyarakat kehilangan identitas, serta terasing dari diri, lingkungan,
dan nilai-nilai moral yang dianutnya. Disini, pendidikan dihadapkan pada
masalah yang sangat mendasar. Disatu sisi, dituntut mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, agar menjadi wahana untuk
mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disisi lain, kondisi masyarakat
yang sedang sakit dan media massa yang sering menayangkan berbagai
suasana kurang sehat, tidak menunjang terhadap pembentukan kualitas SDM
yang diharapkan; bahkan akhir-akhir ini banyak tayangan media yang
merupakan pembodohan massa, banyak program Televisi dan CD yang tidak
sesuai dengan usia peserta didik padahal diperuntukkan bagi mereka,
tidak sedikit tayangan yang bertentangan dengan ajaran agama, dan banyak
pula program-program yang menyesatkan. Ini adalah tantangan berat
terutama bagi perkembangan dunia pendidikan.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Soedijarto (1999) mendiagnosis berbagai
faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang
relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa :
1) Pelaksanaan pendidikan belum secara terencana dan sistematik
diperdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan
Nasional secara optimal
2) Pendidikan Nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan
berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan
nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasasi oleh
IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana
3) Pendidikan Nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum
berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan
mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi,
menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaiang dan mampu
mengembangkan sistem perdagangan.
4) Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan Indonesia yang Religius, berakhlak, berwatak ksatria dan patriotik.
5) Agar pendidikan Nasional benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan
mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program
pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai
lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, sikap dan
akhlak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan
makmur serta demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Memahami uraian tersebut, diperlukan pendidikan yang dapat menghasilkan
SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan
kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous
quality inprovement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan
Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidikan
Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tujuan Pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan empat
strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu : (1) peningkatan
pemerataan kesempatan pendidikan, (2) relevansi pendidikan dengan
pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4) efisiensi pengolahan
pendidikan. Strategi tersebut jika dilaksanakan secara proposional dan
profesional, maka akan dapat menyelesaikan berbagai masalah pendidikan.
Paling tidak dapat mendekatkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
dan lingkungannya.
Kebijakan dalam bidang pemerataan misalnya, dimaksudkan agar semua warga
negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam dan
mengikuti pendidikan yang berkualitas. Idealnya, warga negara yang
tinggal di pedalaman dan daerah terpencil bisa memperoleh pendidikan
gratis yang berkualitas seperti saudaranya yang ada di kota. Demikian
halnya, warga negara yang miskin harus mendapatkan pendidikan yang sama
kualitasnya dengan mereka yang kaya, sehingga pendidikan berkualiatas
menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan pemerataan pendidikan ini pada awalnya menunjukkan
hasil yang cukup lumayan, seperti gerakan wajib belajar enam tahun yang
dimulai pada tahun 1984, pada tahun 1994 diperluas menjadi sembilan
tahun, dengan harapan semua warga negara Indonesia dapat menempuh
pendidikan minimal setara dengan tamatan Sekolah Lnjutan Tingkat
Pertama. Dilihat dari pemerataan akses, SD Impres yang dibangun secara
melauas di seluruh nusantara telah memberikan kesempatan pendidikan yang
merata. Jika pada akhir Pelita I 1969/1970 persentase anak usia 7-12
tahun yang bersekolah hanya sebesar 41,4%, maka sampai akhir Pelita V,
angka partisipasi tersebut telah mencapai 93,49%. Hal tersebut merupakan
suatu keberhasilan yang cukup menggembirakan, bahkan pada saat itu
dianggap sebagai hasil yang monumental. Namun krisis yang
berkempanjangan telah mengembalikan kondisi tersebut pada titik awal,
bahkan lebih parah lagi, karena banyak anak-anak yang lebih suka turun
ke jalan dari pada bersekolah dengan biaya mahal. Krisis yang
berkempanjangan telah menurunkan kemampuan orang tua untuk membiayai
pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah, yang
berdampak meningkatnya jumlah angka putus sekolah. Padahal mereka juga
memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah
wajib mengupayakannya.
Kebijakan relevansi Pendidikan dititikberatkan pada keterkaitan dan
kesepadanan antara materi yang di ajarkan di sekolah dengan kondisi dan
kebutuhan lapangan. Perhatian terhadap masalah relevansi mulai nampak
sejak digunakannya kurikulum 1984 dengan muatan lokal yang disispkan
pada berbagai bidang study yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan
lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum ini muatan
lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang study, tetapi menggunakan
pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib
maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksudkan terutama
untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengembangan kurikulum
sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal
lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber
daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan
Nasional maupun pembangunan setempat, sehingga peserta didik tidak
terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.
Dalam Implementasi kurikulum 2004 selain melalui mata pelajaran muatan
lokal, keterkaitan ini lebih ditekannkan lagi dengan pendekatan
kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi), melalui Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) sejalan dengan kebijakan sentralisasi pendidikan dalam
konteks otonomi daerah. Melalui komptensi Dasar yang pengembangannya
dilakukan oleh daerah dan sekolah, diharapkan peserta didik dapat
menerapkan hasil pendidikan secara langsung untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas masyarakat, serta memecahkan berbagai persoalan
bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta
didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem
pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna.
Pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah
terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat serta upaya peningkatan
mutu pendidikan secara umum. Pemberian Otonom ini menuntut pendekatan
manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi
seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat
secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada disekolah.
Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan
mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya dan pengembangan
pendidikan di sekolah dasar, pemerintah mengembangkan suatu sistem
pembinaan yang dikenal Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini
dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah, sehingga beberapa sekolah
yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai 8
sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti, dan lainnya
meruapakan SD imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan
dengan mengguanakan prinsip whole school development, yang memandang
sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan
pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan
mutu pendidikan di sekolah. Sedikitnya terdapat lima komponen yang
diperhatikan, yaitu kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana
belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat,
yang semuanya belum dapat dilakukan secara optimal.
Sejalan dengan urian diatas, berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja
guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan; seperti
pelatihan model pembelajaran, pelatihan pembuatan alat peraga, pelatihan
pengembangan silabus dan pelatihan pembuatan materi standar. Pembinaan
dan pengembangan lain untuk mendukung pembelajaran yang efektif juga
dilaksanakan, seperti manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen
gugus, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Untuk
sekolah-sekolah yang kurang terlayani (underserved schools), dilakukan
pemberian bantuan khusus dalam rangka peningkatan kegiatan pembelajaran.
Bahkan, untuk meningkatkan peluang peserta didik mengikuti pembelajaran
secara optimal di sekolah, diadakan program "Pemberian Makanan Tambahan
bagi Anak Sekolah (PMT-AS), meskipun dalam pelaksanaannya masih
dihadapi berbagai kendala, terutama berkaitan dengan model pelaksanaan
berbentuk proyek, yang sering hanya menghambur-hamburkan dana, yang
diperparah oleh sikap mental para pelaksananya. Upaya lain yang sedang
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah Bantuan
Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan ini berbentuk hibah yang
langsung diberikan ke sekolah melalui rekening sekolah.
Dalam sistem pendidikan dan pengajaran peranan guru sangatlah strategis
dalam upaya menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang hendak
dicapai. Raka Joni dalam Seniawan dan Soedijarto, (1991 : 119)
mengatakan, "secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan
sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan
kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa". Lebih-lebih jika peranan
guru dikaitkan dengan jenjang pendidikan dasar maka kita akan melihat
betapa seorang guru akan menjadi faktor yang sangat penting dan
strategis dalam meletakan fondasi bagi pengembangan sumber daya manusia,
karena jenjang yang Iebih tinggi pada dasarnya akan mudah dikelola jika
fondasi dasar siswa sudah kuat.
Menurut Sudjana (1989 : 1) "kurikulum diuntukan bagi siswa, melalui guru
yang secara nyata memberi pengaruh kepada siswa pada saat terjadinya
proses pengajaran". Mengingat peranan guru yang sentral dalam proses
belajar mengajar, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di sekolah
itu sangat ditentukan oleh kualitas kemampuan guru, meskipun ada faktor
lain yang terkait. Konsekuensinya, apabila kualitas proses pendidikan
pada suatu jenjang pendidikan ditingkatkan maka kualitas kemampuan guru
perlu ditingkatkan pula. Demikian juga sebaliknya, apabila kualitas
pendidikan itu disinyalir kurang sesuai dengan harapan masyarakat, tentu
yang lebih dulu mendapat tudingan adalah guru. Bahkan Natawidjaja (1992
: 11) mengungkapkan bahwa kritikan masyarakat terhadap kualitas guru
yang tidak memadai dalam menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dan
perkembangan yang terjadi dalam bidang pendidikan. Mewujudkan sosok
pribadi guru yang sesuai dengan harapan masyarakat, dalam arti dapat
berperan sebagai pendidik dan pengajar bukanlah pekerjaan yang mudah,
akan merupakan pekerjaan yang sulit dan teramat sulit sudah barang tentu
hal ini terkait dengan sejumlah aspek, baik yang melekat pada pribadi
guru seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping hal-hal
diluar guru seperti : Kurikukulum, sarana belajar, organisasi sekolah
dan lainnya.
Mengingat demikian strategisnya peranan seorang guru dalam menghantarkan
tujuan pendidikan, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi
profesional. Hal ini ditegaskan oleh Syaodih (1998) mengemukakan bahwa
guru memegang perang yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah
perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru
juga mempakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan, maka guru
pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap
kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa penting nya untuk meningkatkan
aktivitas, kreativitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal
tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara
desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena disini
guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan
kompetensi dasar yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan
sekolah. Simon dan Alexander (1980) telah merangkum lebih dari 10 hasil
penelitian di negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci
penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi
belajar peserta didik; yaitu : jumlah waktu efektif yang digunakan guru
untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru..
Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki standar kemampuan profesional
untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas.
Mulyasa (2008 : 13-14) mengatakan kualitas guru dapat ditinjau dari dua
segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses guru
dikatakan berahasil apabila mampu melibatkan sebagia besar peserta didik
secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses
pembelajaran. Disamping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat
mengajarnya, serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil,
guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu
mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan
kompetensi dasar yang lebih baik. Untuk memenuhi tuntutan tersebut
diperlukan berbagai kompetensi pembelajaran.
Pengembangan kualitas guru merupakan suatu proses yang kompleks, dan
melibatkan berbagai faktor yang saling terkait. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya tidak hanya menuntut keterampilan teknik dari para ahli
terhadap pengembangan kompetensi guru, tetapi harus pula dipahami
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan itu, perlu
dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru dalam
mengembangkan berbagai aspek pendidikan dan pembelajaran. Hal tersebut
lebih terfokus lagi dalam implementasi kurikulum 2004 yang berbasis
kompetensi, dengan manajemen berbasis sekolah, dalam konteks
desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah. Pelaksanaan berbagai
kebijakan tersebut secara benar dan transparan dapat meningkatkan mutu
pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam pelaksanaan berbagai kebijakan diatas, guru dituntut untuk menjadi
ahli penyebar informasi yang baik, karena tugas utamanya antara lain
menyampaikan informasi kepada peserta didik. Guru juga berperan sebagai
perencana (designer), pelaksana (implementer), dan penilai (evaluator)
pembelajaran. Apabila pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
pribadi para peserta didik dengan penyediaan ilmu yang tepat dan latihan
keterampilan yang mereka perlukan, haruslah ada ketergantungan terhadap
materi standar yang efektif dan terorganisasi. Untuk itu diperlukan
peran baru dari para guru, mereka dituntut memiliki
keterampilan-keterampilan teknis yang memungkinkan untuk
mengorganisasikan materi standar serta mengelolanya dalam pembelajaran
dan pembentukan kompetensi peserta didik.
Dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, guru terutama berperan
dalam mengembangkan materi standar dan membentuk kompetensi peserta
didik. Sehubungan dengan itu, guru harus kreatif, profesional, dan
menyenangkan. Guru harus kreatif dalam memilah dan memilih, serta
mengembangkan materi standar sebagai bahan untuk membentuk kompetensi
peserta didik. Guru harus profesional dalam membentuk kompetensi peserta
didik sesuai dengan karakteristik individual masing-masing. Guru juga
harus menyenangkan, tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga bagi
dirinya. Artinya, belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok
guru sehari-hari, harus dicintai, agar dapat membentuk dan membangkitkan
rasa cinta dan nafsu belajar peserta didik. Dalam kondisi dan perubahan
yang bagaimanapun dahsyatnya, guru harus tetap guru; jangan terpengaruh
oleh isu, dan jangan bertindak terburu-buru.
Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan
tugas profesinya secara layak dan bertanggungjawab (Usman : 1999 : 14).
Sejalan dengan hal tersebut. Dahlan dalam makalah bahan diskusi
Pelatihan Pengelolaan Madrasah Aliyah Dirjen Kelembagaan Agama Islam
Depag RI tanggal 14-31 Mei 2000 di Griya Astuti Cisarua Bogor,
mengungkapkan setidaknya ada sepuluh standar kemampuan dasar guru yaitu :
1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.
2. Pengelolaan program belajar mengajar
3. Pengelolaan Kelas
4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran
5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan
6. Pengelolaan interaksi belajar mengajar.
7. Penilaian prestasi siswa
8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan
9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10.Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
Standar kemampuan guru tersebut adalah merupakan modal yang penting
dalam upaya melakukan proses pembelajaran yang mendukung bagi
tercapainya tujuan yang ditetapkan. Kompotensi Guru yang dimilikinya
sebagai pengembang kurikulum di sekolah sudah barang tentu ini merupakan
modal penting dalam menciptakan situasi edukatif yang kondusif,
sehingga diharapkan dengan modal kompetensi guru yang memadai siswa
dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Sebaliknya jika kompetensi
guru sangat lemah dalam mengelola sistem kependidikan maka meskipun
fasilitas di sekolah serba ada sangat sulit diharapkan hasil pendidikan
tersebut dapat mecapai tujuan yang optimal. Bahkan dalam surat keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 26 tahun 1989 tentang angka
kredit bagi jabatan guru dalam lingkungan Depdiknas, guru dituntut
untuk senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya baik secara
individu maupun secara bersama-sama. Lebih lanjut PP nomor 38 tahun 1992
tentang tenaga kependidikan, fasal 31 mengungkapkan bahwa : Tenaga
kepndidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan
profesionalnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta pembangunan bangsa. Sukadi (2006), Tugas dan Peran Guru, mempakan
suatu proses yang meliputi : mendidik, mengajar, dan melatih peserta
didik. Mendidik berarti menemskan dan mengembangkan nilai-nikai hidup
(efektif). Mengajar berarti menemskan dan mengembangkan Ilmu pengetahuan
dan teknologi (kognitif), Adapun melatih berarti mengembangkan
keterampilan para siswa (psikomotor).
Ketiga tugas guru tersebut harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dan
tidak terpisah-pisah. Artinya, dalam melaksanakan tugas mengajar,
seorang guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan
keterampilan. Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi
tidak mengesampingkan niali-nilai penggunaan Ilmu dan teknologi
tersebut. Demikian pula dalam melatih para siswa, seorang guru tidak
bisa mengabaikan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Untuk
melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut, seorang guru dituntut
mempunyai beberapa kemampuan sebagai berikut :
1. Berwawasan luas, menguasasi bidang ilmunya, dan mampu mentransfer serta menerangkan kembali kepada siswa
2. Mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani
sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (values) yang dianut masyarakat dan
bangsa
3. Memiliki keterampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya
Peningkatan kualitas guru menuju kemampuan profesional guru adalah
merupakan perwujudan dari upaya .meningkatkan mutu pendidikan secara
keseluruhan. Guru merupakan sosok manusia yang diberi amanat untuk
membimbing dan mengarahkan generasi bangsa yang akan datang. Guru yang
berkualitas dalam kinerjanya akan dapat mencerminkan nasib bangsa dan
negara yang akan datang. Hal ini dengan asumsi bahwa jabatan apapun atau
pekerjaan apapun pasti melalui proses pendidikan dan orang yang
melakukan proses tersebut pasti selalu beriringan dengan sosok guru,
karena kualitas pembelajaran akan berjalan dengan balk apabila guru
mampu melakukannya.
Fenomena di lapangan menunjukan bahwa masih terdapat anggapan bahwa
untuk menjadi guru, yang penting memiliki kemauan persoalan kemampuan
pada gilirannya akan mengikuti. Anggapan tersebut sudah barang tentu
kurang kondusif bagi pembinaan profesionalisme guru dalam menjalankan
tugas, peran dan fungsinya dalam menghantarkan peserta didik kearah
tujuan yang dikehendaki.
Ace Suryadi dari Balitbang Depdiknas yang dikutif oleh Usman (2001) menyatakan bahwa :
"Berbagai temuan penelitian menunjukan beberapa kekhawatiran jika
guru-guru kita ternyata belum sepenuhnya menguasai kemampuan profesinya.
Berdasarkan salah satu penelitian, penguasaan guru terhadap mata
pelajaran memang masih berada di bawah standar yang diharapkan. Oleh
karena itu maka tidaklah mengherankan jika guru belum dapat melaksanakan
pekerjaannya secara profesional".
Sudah barang tentu guru yang masih Iemah kompetensi professionalnya akan
sulit diharapkan tujuan pendidikan nasional akan tercapai. Sebagaimana
tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional bahwa tujuan
pendidikan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Membicarakan perbaikan kurikulum, pengadaan sarana dan prasarana
pendidikan sampai kepada Kriteria sumberdaya manusia yang diinginkan
oleh usaha pendidikan maka semua pasti bermuara pada kualitas guru
(Muhibinsyah, 1995 : 224). Dengan demikian maka dapat ditarik benang
merah betapa urgennya posisi guru dalam dunia pendidikan.
Peran guru dalam mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas posisinya
sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembelajaran.
Sukmadinata (1988 : 212) mengemukakan bahwa :
"Official curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan oleh
sekolah atau kelas, suatu "reality". Kurikulum nyata atau actual
curriculum merupakan implementasi dari official curriculum oleh guru di
dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan betapapun bagusnya suatu kurikulum
(official), tetapi hasilnya sangat bergantung pada upaya yang dilakukan
oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual). Dengan demikian guru
memegang peranan penting baik di dalam penyusunan maupun pelaksanaan
kurikulum".
Kurikulum dapat dipahami, tidak hanya dokumen tertulis akan tetapi
sebagai sebuah rencana pelajaran didalam ruangan kelas, dalam hal ini
Beauchamp (1968 : 6) mengungkapkan bahwa "a curriculum is written
document wich may contain many ingredients, but basically it is a plan
for education of pupils during their enrollment in given school". Dengan
demikian implementasi kurikulum dapat dikembangkan oleh guru dalam
ruangan kelas sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa atau peserta
belajar.
Dengan demikian kinerja profesional dalam melaksanakan tugas sebagai
pengembang kurikulum , dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam
melaksanakan kurikulum di kelas yang meliputi perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi.
Sejalan dengan hal tersebut Johnson (1978) Menurutnya kompetensi
merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan
sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi
ditunjukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggung
jawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.
Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh
seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesional
dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Kompetensi Pribadi, guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki
kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai
model atau panutan (yang harus di-gugu dan ditiru). Sebagai seorang
model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan
pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya :
a. Kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya.
b. Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama.
c. Kemampuan untuk berprilaku sesuai dengan norma, antara dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat
d. Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya, sopan santun dan tata krama
e. Bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
Kompetensi Profesional, adalah kompetensi atau kemampuan yang
berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini
merupakan yang sangat penting, oleh sebab langsung berhubungan dengan
kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu , tingkat keprofesionalan
seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini di antaranya :
a. Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan
tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, tujuan
instmksional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran
b. Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan misalnya, paham tentang
tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar, dan lain
sebagainya.
c. Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya.
d. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran
e. Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar.
f. Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
g. Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran.
h. Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya, paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
i. Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
Kompetensi Sosial Kemasyarakatan. Kompetensi ini berhubungan dengan
kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial,
yang meliputi :
a. Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomonikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional.
b. Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan.
c. Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok
Guru sebagai pengembang kurikulum dalam tulisan ini dipahami dalam
pengertian mikro, yaitu mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas.
Sejalan dengan hal ini Kusnandar (2007 : 42-43), ada beberapa paradigma
baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah sebagai berikut :
1. Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan
memperdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi
dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan,
seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada
aktivitas datang, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa
mengembangkan potensi diri secara maksimal
2. Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model Pembelajaran
yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) yang
dapat menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai
berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran
sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif
dan menyenangkan.
3. Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif
dalam proses belajar-mengajar
4. Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga
peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi
5. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai
suatu prefesi yang menyenangkan 6. Guru mengikuti perkembangan Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang
luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini
7. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas
dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai
integritas yang tinggi
8. Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman
sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang
membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.
Beberapa hal tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa pada dasarnya
peranan guru dalam ruangan kelas adalah merupakan hubungan antar
pribadi. Dalam hal ini pula menunjukan bahwa proses belajar mengajar
bukan hanya sekedar kegiatan instruksional akan tetapi juga merupakan
perilaku guru yang secara utuh diserap oleh siswa.
Dengan demikian, guru dituntut selalu inovatif, kreatif, dan mampu
mengimplementasikan sepuluh standar kemampuan dasar dalam upaya
menghantarkan tujuan pendidikan secara optimal. Salah satunya melibatkan
siswa dalam proses belajar mengajar dengan pola komoniakasi multi
trafic (multi trafic communication). Dalam pola komunikasi multi trafic
ini, komonikasi terjadi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.
Dengan pola komonikasi seperti ini, antara siswa dengan guru maupun
siswa dengan siswa lainnya terjadi pertukaran (sharing) pengetahuan dan
pengalaman sehingga proses belajar mengajar lebih bermakna.
Untuk menciptakan pola semacam ini, guru harus memiliki beberapa keterampilan sebagai berikut :
- Memiliki keterampilan bertanya yang meliputi : pertanyaan menggiring,
pertanyaan untuk merangsang siswa berfikir dan mengemukakan gagasan,
pertanyaan mengarahkan, dan pertanyaan yang bersifat mengendalikan arus
komunikasi.
- Memiliki keterampilan memberikan reward dan bentuk-bentuk penghargaan atas pendapat, gagasan, dan pertanyaan siswa.
- Terampil dan memilih dan mempergunakan metode dan media pembelajaran yang mendukung terjadinya pola komonikasi multi trafic.
- Memiliki keterampilan memilih dan menyampaikan permasalahan yang dapat
merangsang siswa mau berpikir dan melibatkan emosi dalam pembelajaran
- Memahami dan mampu menerapkan pola pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) dengan segenap metode dan media yang mendukungnya.
Selain dengan cara-cara tersebut, keterlibatan siswa dalam proses
belajar mengajar dapat dirangsang dengan cara sebagai berikut :
- Memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk mengemukakan ide, gagasan, pendapat, komentar, saran, dan kritik yang membangun.
- Menciptakan suasana belajar mengajar yang terbuka (fair) dalam batas-batas yang wajar dan etis.
- Memberikan penghargaan atas keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan cara memberikan nilai tambah.
- Membangun rasa percaya diri siswa dihadapan teman-temannya.
- Mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran.
Berangkat dari pemikiran diatas, maka terdapat suatu perkembangan di
MTsN X Kota X menyangkut kinerja professional guru dalam melaksanakan
tugas sebagai pengembang kurikulum. Hal ini mengingat tiga Tahun
terakhir MTsN X mengalami peningkatan UAN yang sangat signifikan. Selain
itu juga guru MTsN tersebut tidak mengandalkan kewajibannya sebagai
pengajar tetapi juga selalu melakukan mengayaan atau proses pembelajaran
tambahan (Less).
Mengingat begitu pentingnya peningkatan kompetensi profesional guru
dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum khususnya dalam
dimensi kegiatan, maka hal inilah yang menjadi landasan berfikir penulis
untuk melakukan penelitian tentang kompentensi profesional guru dalam
melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Kinerja professional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru,
hal ini didasarkan pada asumsi bahwa guru adalah merupakan jabatan
professional. Kinerja yang dimaksudkan disini adalah "performance yang
berarti "the execution of an action". Wolf, (1997 : 851) dengan demikian
kinerja di sini berarti pelaksanaan suatu kegiatan. Kinerja juga dapat
diartikan sebagai penampilan kerja atau perilaku kerja yang mencerminkan
hasil atau out put dari suatu proses
Pada dasarnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti; pendidik, terdidik, kurikulum dan lingkungan. Faktor— faktor
tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan tidak bisa berdiri
sendiri. Namun demikian pada penelitian ini penulis membatasi diri pada
faktor guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
pendidikan.
Dalam pandangan Sudjana (1989 : 1) guru mempunyai peranan yang sangat
penting dalam hubungannya dengan pengembangan kurikulum di sekolah. Dia
harus mampu menterjemahkan, menjabarkan dan mentransformasikan
nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada anak didik melalui
proses belajar mengajar. Dengan demikian dalam mengimplementasikan
kurikulum yang ada di sekolah hendaknya guru tidak hanya sekedar
melakukan proses pengajaran akan tetapi harus berupaya mengorientasikan
bagaimana membuat siswa belajar. Guru sebagai pengembang kurikulum
dipahami sebagai seorang yang senantiasa menciptakan situasi kelas yang
kondusif serta mengembangkan segala sarana dan fasilitas yang ada
menjadi bahan ajar yang efektif efisien serta terus menerus melakukan
inovasi dalam mengembangkan materi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
siswa serta berupaya untuk melakukan metode pengajaran yang bervariasi,
sehingga siswa tidak merasa jenuh mengikuti proses belajar mengajar.
Berangkat dari hal tersebut, maka inti permasalahan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana kinerja profesional Guru sebagai Pengembang kurikulum dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya ?
C. Pertanyan Penelitian
Berdasarkan inti permasalahan dalam penelitian, maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja profesional guru dalam :
a. Perencanaan pembelajaran ?
b. Pelaksanaaan pembelajaran ?
c. Evaluasi pembelajaran ?
2. Apa saja yang mempengaruhi kinerja profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum ?
3. Bagaimana hubungan kinerja guru dan hasil belajar siswa ?
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menemukan 2 manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat teoritis.
Guru profesional sudah terbentang dalam UU No. 14/2005 tentang Guru
& Dosen. Pda Bab 1 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama (pokok) mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Sedangkan pada Bab 1 pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas, pendidik
adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Guru profesional, adalah guru memegang peranan penting terhadap
keberhasilan implementasi kurikulum KTSP, karena gurulah yang pada
akhirnya akan melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Gurulah gerda
terdepan dalam implementasi kurikulum. Guru adalah kurikulum berjalan.
Sebaik apa pun kurikulum dan sistim pendidikan yang ada, tanpa didukung
mutu guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia. Peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang
kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu guru,
semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang dinginkan
(Kusnandar, Kompas, 2 Oktober 2006)
Oleh karena itu, keberadaan guru yang profesional tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki
kompetensi yang dapat menunjang tugasnya. Ada empat kompetensi yang
harus dimiliki oleh guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi soaial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi (UU nomor 14 2005 tentang Guru dan
Dosen pasal 10 ayat 2).
Pandangan yang dikembangkan oleh Havighurst (peneliti Amerika serikat)
dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks).
Tugas-tugas perkembangan yang dimaksud adalah tugas yang secara nyata
harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sesuai dengan tingkat
perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu
tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu
tersebut akan mengalami masalah. Melalui tugas-tugas ini, anak akan
berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang
sederhana menuju kearah yang lebih kompleks
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh
terhadap perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia. Setiap anak
merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya.
Impilikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
- Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya
- Disamping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang
wajib dipelajari setiap anak disekolah, disediakan pula
pelajaran-pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak
- Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga
menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak-anak yang
berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi
kejenjang pendidikan berikutnya
- Kurikulum menurut tujuanya mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan
keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan
batin.
Teori Yang dikemukakan para ahli tokoh pendidikan ini diharapkan menjadi
bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan kompetensi professional
guru guna melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum yang pada
gilirannya diharapkan dapat menuju pelaksanaan proses belajar mengajar
yang optimal.
2. Manfaat praktis.
Setelah penelitian ini selesai diharapkan dapat memberikan sumbangan
yang kongkrit bagi upaya peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan
pada tingkat dasar, terutama kualitas guru dalam mengembangkan kurikulum
di sekolah.
Secara spesifik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Kepala sekolah
Dengan mengungkapkan data empiris diharapkan kepala sekolah dapat
membuat rencana dan strategi pengembangan sistem pendidikan yang sesuai
dengan keadaan dan kemampuan lingkungan sekolahnya, baik yang menyangkut
sistem rekruitmen guru maupun upaya berkelanjutan dalam memberdayakan
dan meningkatkan kinerja guru.
b. Guru.
Guru yang merupakan ujung tombak dalam upaya menghantarkan tujuan
pendidikan diharapkan selalu berupaya meningkatkan kualitas profesinya
dengan terus melakukan introspeksi baik yang menyangkut kualitas teknis
maupun kualitas sosial. Sehingga ferformance guru akan sesuai dengan
tuntutan profesinya.
c. Siswa
Siswa yang merupakan subyek dan obyek pendidikan akan memperoleh
pelayanan pembelajaran yang optimal. Hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa jika kinerja guru dapat dilaksanakan secara baik maka pelayanan
kepada siswa pun akan menjadi baik.
d. Bagi Departemen Agama hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan
bahan-bahan untuk kemudian dipertimbangkan dalam mengola dan mengambil
kebijakan pendidikan khususnya yang berhubungan upaya meningkatkan
profesionalisme guru
e. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan rujukan dan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan
literature pensinkronan masalah yang akan diteliti berkaitan dengan
kinerja profesinal guru.